Seni dan Budaya

Keindahan Alam, Sejarah dan Potensi Wisata Gua Sentono


Derasnya arus air di Sungai Bengawan Solo masih menjadi saksi alam keberadaan Gua Sentono, di Dusun Sentono Desa Mendenrejo, Kecamatan Kradenan Kabupaten Blora, Jumat (23/5/2025).

Berabad-abad, cerita tentang Gua Sentono yang dibalut panorama alam itu masih membumi dan berkembang menjadi destinasi wisata yang patut dikunjungi.

Dari Taman Sentono kita bisa menikmati view nan eksotik dan bisa melihat ujung wilayah Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur dan wilayah Kabupaten Blora Tengah.

Tebing Gua Sentono berada sekitar 30 meter dari sungai, yang artinya tebing bantaran Bengawan Solo.

Dari sepanjang Solo hingga Gresik, bantaran itu terbukti paling tinggi. Ini yang membuat menarik.

“Gua Sentono adalah destinasi wisata yang menawarkan pengalaman unik dan tak terlupakan. Perpaduan antara keindahan alam, sejarah mistis, dan potensi wisata yang besar menjadikan gua ini sebagai salah satu permata tersembunyi di Blora,” kata Kasiyanto, pengunjung Gua Sentono.

Dari berbagai sumber menjelaskan di masa lampau, Dusun Sentono menjadi tempat berdirinya sebuah padepokan yang dipimpin oleh Ki Blacak Ngilo.

Awalnya, padepokan ini begitu terkenal sehingga menarik perhatian banyak orang untuk datang ke Sentono guna menyantrik dan belajar dari Blacak Ngilo.

Dengan kebijaksanaan dan kearifannya, Blacak Ngilo mengajarkan berbagai ilmu kepada para pengikutnya, termasuk cara bercocok tanam, budi pekerti, spiritual dan olah kanuragan kepada masyarakat lokal.

Sentono, yang berlokasi di tepi aliran Sungai Bengawan Solo, menjadi daerah yang strategis untuk pertanian.

Tak heran jika Sentono dan sekitarnya mengalami kemajuan yang luar biasa. Bahkan, Blacak Ngilo dihormati oleh pengikutnya seolah-olah ia adalah seorang raja.

Namun, setelah waktu berlalu, sikap Ki Blacak Ngilo mengalami perubahan yang kurang baik dengan bertindak sewenang-wenang.

Warga desa dipaksa untuk menyumbangkan lebih dari separuh hasil panen mereka.

Selain itu, Ki Blacak Ngilo juga memerintahkan agar setiap keluarga yang memiliki anak perempuan harus menyerahkannya sebagai selirnya.

Ketegangan merayap di kalangan masyarakat, terutama setiap malam bulan purnama, mereka diwajibkan menyediakan darah manusia sebagai tumbal untuk memperkuat kesaktiannya.

Tindakan yang tidak wajar itu terdengar oleh Raden Maulana Makdum Ibrahim alias Sunan Bonang.

Oleh karenanya, Sunan Bonang mengirim salah satu utusannya untuk menghadap Blacak Ngilo dengan pesan agar Blacak Ngilo menghentikan perilaku sewenang-wenang terhadap rakyatnya, meninggalkan penyembahan berhala, dan mengikuti ajaran Islam dengan tulus dan benar.

Sunan Bonang menyetujuinya, tetapi dengan beberapa syarat. Jika Sunan Bonang kalah, beliau bersedia menjadi pengikut Blacak Ngilo, dan sebaliknya, jika Blacak Ngilo kalah, ia harus meninggalkan semua perilaku buruknya dan memeluk Islam. Kedua belah pihak menyetujui persyaratan tersebut.

Pertarungan sengit pun dimulai. Kedua tokoh ini, sama-sama memiliki kekuatan yang luar biasa, dan pada hari pertama, hari kedua, bahkan hingga hari keenam, belum terlihat siapa yang kalah atau menang.

Namun, pada hari ketujuh, Blacak Ngilo mulai merasa kelelahan. Meskipun begitu, karena kesombongannya, ia enggan mengakui kehebatan Sunan Bonang.

Di saat seperti itu, Blacak Ngilo menggunakan akal liciknya untuk melarikan diri dari medan pertarungan. Dengan sisa-sisa kesaktiannya, Blacak Ngilo memasuki perut bumi untuk menghindar.

Sunan Bonang tidak mau kalah. Ia mengejar Blacak Ngilo hingga ke dalam perut bumi, dan akhirnya terjadi kejar-kejaran di dalam tanah.

Setiap kali Ki Sentono alias Blacak Ngilo muncul di permukaan tanah, Sunan Bonang selalu berada di belakangnya. Bahkan, saat Blacak Ngilo melarikan diri ke daerah Tuban (Jawa Timur), Sunan Bonang juga muncul di sana.

Setelah merasa kelelahan, Blacak Ngilo meminta Sunan Bonang untuk memberikan waktu istirahat. Permintaan tersebut dikabulkan oleh Sunan Bonang.

Tanpa menyia-nyiakan waktu, Blacak Ngilo mencari tempat untuk beristirahat, yang dalam bahasa Jawa disebut semende atau senderan.

Tempat istirahat Blacak Ngilo inilah yang kemudian memberi nama pada Desa Menden, berasal dari kata semenden/senden.

Akhirnya, Blacak Ngilo mengakui kekalahannya dan bersedia memeluk agama Islam serta menjadi pengikut Sunan Bonang untuk menyebarkan ajaran Islam di wilayah Menden.

Lubang-lubang dalam tanah bekas kejar-kejaran antara Sunan Bonang dan Blacak Ngilo meninggalkan bekas berupa gua.

Gua ini kemudian diberi nama Gua Sentono.
Pengunjung wisata Gua Sentono ini semakin ramai.

Apalagi akhir pekan atau saat ada event, sampai ribuan pengunjung memadati lokasi wisata tersebut.

“Ketika ada yang membuat event, itu luar biasa, pengunjung bisa membludak mencapai ribuan,” kata Sutikno, Kamituwo Dusun Sentono.

(Tim Dinkominfo Blora)

    Berita Terbaru

    Dukung Swasembada Pangan 2025, Polres Blora Gelar Panen Raya Jagung
    05 Juni 2025 Jam 21:53:00

    Polres Blora menggelar panen raya jagung serentak Kuartal II 2025 di lahan seluas 4 hektar di...

    Presiden RI dan Mensesneg RI Berikan Sapi Kurban untuk Warga Blora
    05 Juni 2025 Jam 21:38:00

    Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto dan Menteri Sekretaris Negara Republik Indonesia...

    Bupati Arief Rohman Lantik TP PKK dan Tim Pembina Posyandu Kabupaten Blora
    05 Juni 2025 Jam 21:07:00

    Bupati Blora, Dr. H. Arief Rohman, melantik Pengurus Tim Penggerak PKK Kabupaten Blora Masa...